
Rinciannya untuk PT KAI (Persero) sebesar Rp 2 triliun, dan untuk PT Djakarta Lloyd (Persero) Rp 379,3 miliar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak perlu sungkan terhadap usulan tersebut. Bila harus ditolak maka tidak masalah.
Sebab, usulan PMN yang sudah disepakati dalam postur APBNP 2017 sementara ini tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Di mana, PMN tidak terlebih dahulu diusulkan sekaligus dibahas di Komisi VI yang merupakan mitra Kementerian BUMN dalam soal suntikan modal.
"Saya hanya ingin meyakinkan, sebagai Menteri Keuangan, saya titip ke Komisi VI kalau memang harus ditolak, ya ditolak, dalam artian kalau secara korporasi tidak feasible, kalau Bapak-Ibu melihat ini fundamental dari sisi korporasi. Saya akan terima kasih kalau itu tidak dianggap feasible," tegas Sri Mulyani di Ruang Rapat Komisi VI DPR, Jakarta, Kamis (13/7/2017).
PMN untuk Djakarta Lloyd berbentuk non tunai, adapun pencairannya juga berasal dari SLA yang dikonversikan sebagai ekuitas. Tujuan pemberian suntikan modal untuk menambah modal kerja melalui investasi PMN non tunai. Sedangkan PMN KAI digunakan sebagai modal membangun proyek LRT Jabodebek.
Dia mengungkapkan, laporan keuangan Djakarta Lloyd selama 3 tahun terakhir sudah membukukan keuntungan. Dari sisi permasalah gaji karyawan dan pesangon dan hak normatif sudah diselesaikan pada Mei 2017. Likuiditas Djakarta Lloyd kualitasnya sudah membaik 231%, dan membukukan pendapatan untuk 2017 Rp 425 miliar.
"Tapi saya kan Menkeu tidak melakukan dalami korporasi, tugas saya mendalami APBN dan makronya. Nanti kami akan memberikan sepenuhnya dukungan kepada Komisi VI untuk mendalami, karena angka yang saya bacakan dapat dari deputi ini, kalau bapak sekalian katakan bahwa angkanya cukup spektakuler, dalam hal ini saya mempercayakan kepada wakil rakyat untuk melakukan pendalam pada aset negara yang dipisahkan ini. Jadi supaya tidak tafsir pasti saya setuju apa yang akan disampaikan bapak," ungkap dia.
Ketegasan Sri Mulyani juga berawal dari protes keras Wakil Ketua Komisi VI Bowo Sidik Pangarso yang menyebutkan, bahwa kinerja Djakarta Lloyd hanya sebagai "calo", di mana pada saat mendapatkan proyek BUMN ini akan kembali menawarkan kepada pihak ketiga."Djakarta Lloyd sampai detik ini itu ada kapal yang tidak beroperasi. Dan kinerja Djakarta Lloyd itu hanya jadi agen atau calo. Di mana dia dapat kontrak tapi dipihak tigakan, pendapatannya hanya Rp 10 miliar kurang lebih per tahun. Utangnya dengan SLA kurang lebih Rp 1,3 triliun, tetapi sudah dihitung ulang menjadi Rp 700-Rp 800 miliar," ujar Bowo pada kesempatan yang sama.
"Kalau ini diberikan ini sama saja membeli aset dengan ekuitas, bahaya bu, sekarang Bagaimana risikonya kalau itu kami biarkan, enggak sehat bu, ini hanya menjadi calo, artinya ini bekerjanya mendapat projek di pihak 3, besok kita bahas, supaya kita tidak salah bersama dalam PMN," tegasnya.
Apalagi, lanjut Bowo, dari hasil rekstrukturisasi hingga 2009 Djakarta Lloyd harus membayar utang Rp 40 miliar setiap bulannya hingga 2019.
"Uang dari mana. Jadi kalau tidak bisa jangan dipaksakan. Ini "PR" kita bersama, kalau tidak bisa tidak usah dipaksakan," jelas dia.
Dengan begitu, Komisi VI DPR belum memberikan persetujuan kepada usulan PMN sebesar Rp 2 triliun untuk PT KAI, dan Rp 379,3 miliar untuk PT Djakarta Lloyd.
"Komisi VI DPR dan Kementerian BUMN menyepakati untuk melakukan pendalaman mengenai usulan PMN pada BUMN dalam Perubahan APBN TA 2017 dalam RDP dan untuk selanjutnya akan diputuskan dalam Rapat Kerja berikut di masa sidang V tahun 2016/2017," kata Ketua Komisi VI Teguh Juwarno. (mkj/mkj)
Comments
Post a Comment